Sastra, Literasi, dan Peran Seorang Guru
Oleh: Kumaidi
Pembelajaran sastra dalam bingkai pendidikan sampai saat ini masih menjadi permasalahan di semua kalangan pendidikan formal. Munculnya permasalahan dibarengi dengan anggapan bahwa sastra merupakan dunia yang penuh khayalan, fantasi dan cenderung fiktif. Sehingga pembelajaran sastra dianggap tidak penting bagi masa depan siswa. Tidak mengahasilkan apa-apa, dan tidak menjadi apa-apa!
Meskipun hal seperti ini sudah tidak asing lagi untuk dibicarakan, namun masih terasa manis untuk kita bicarakan. Karena, jika membicarakan sastra dalam pendidikan formal maka akan memicu kekecewaan terhadap sistem pembelajaran yang ada di negeri ini. Kenapa tidak, pembelajaran olahraga akan menjadi sangat penting daripada pembelajaran sastra, lomba saent akan lebih bergengsi daripada sastra. Hal semacam inilah yang menjadi kemirisan penulis juga penggiat sastra pada umumnya. Seakan-akan sastra adalah anak haram yang terbuang. Sehingga wajar jika pelajar saling membunuh, tauran, dan pemorkasaan, ada pelajar menghamili temannya, itu karena tidak ada kontrol secara emosional.
Hal semacam inilah sering kita jumpai melalui media sosial yang akhir-akhir ini generasi bangsa sudah masuk dalam lembah jahiliyah modren. Dengan demikian, melalui pembelajaran bahasa dan sastra indonesia, seharusnya pembelajaran sastra di lembaga formal harus diberikan secara tepat. Bukan berarti sastra merupakan pelajaran yang numpang (nunut) pada pelajran bahasa Indonesia sehingga pelajaran sastra diberikan sambil berlalu.
Sastra dan Literasi
Jika pembejalaran sastra diberikan secara tepat, maka sastra akan menjadi agen perubahan peradaban. Sehingga sastra akan menjadi wahana yang sederhana untuk menguatkan akar religi, moral, budaya dan kecerdasan emosional. Belajar sastra pada hakikatnya belajar tentang hidup-kehidupan. Dan membaca karya sastra merupakan pencerah bagi batin seseorang. Dan berkenala bersama alur cerita dan karakter tokoh dalam suatu karya sastra.
Maka dari situlah untuk pelaku pendidikan baik stik holder yang bersangkitan pendidikan sastra dan bahasa merupakan satu-kesatuan. Namun belum tentu seorang Guru bahasa akan mengajarkan sastra. Maksudnya, pemebelajran sastra seorang siswa harus diajak masuk dalam sastra, bukan mengajarkan sastra hanya bedasarkan teks saja. Disitulah guru dituntut untuk mandiri serta menjadi benang merah bagaimana mengapresiasi karya sastra dan menciptakan karya sastra.
Memang, pembelajaran sastra butuh waktu yang sangat panjang, sementara waktu yang ditentukan oleh jadwal di sekolah sangat terbatas. Namun keterbatasan bukan berarti guru harus mengajarkan sastra sebagai pelajaran yang kesannya hanya memiliki status numoang (nunut). Dari sinilah mari kita menyadarkan diri, sadar akan sebuah tugas seorang guru. Sehingga pendidikan memberikan dampak yang positif terhadap pelajar.
Dengan demikian, harapan kedepan untuk pembelajaran sastra tidak berhenti sampai pada teks saja. Kalau bisa pendidikan sastra sebagai atmosfer agen perubahan peradaban sehingga nilai-nilai moral, religi dan sosial-budaya tertanam pada generasi muda. Begitu juga peran sastra sebagai alat pendidikan yang berfikir kritis dan peka terhadap gejala-gejala lingkungan sosialnya. Sehingga dari kepekaan intusi itulah yang nanti akan membangun kntrusksi berpikir dan berntanya secara kritis.
Pendidikan bukan hanya sekedar mendidik dari aspek pikiran (kognitif) saja. Tapi juga secara mental dan emosional. Sehingga peserta didik mampu dan yakin terhadap keberadaannya dan mempunyai sikap dan pemikiran kritis.
Simpang Siur Literasi Sekolah
Tiga sampai dua tahun ini, literasi menjadi barang dangan yang sangat strategis dalam kancah dunia pendidikan maupun dalam dunia komunitas. Namun, ada hal perlu kita pertanyakan lagi mengenai literasi yang saat ini digalakkan dalam dunia pendidikan.
Pada pendidikan kita pasti mengenal istilah Asesmen Kopetensi Minimum (AKM). Yang terbagi menjadi dua bagian yaitu: literasi dan numerasi. Dari pembagian tersebut ada secerca harapan yang tetunya menjadi tujuan pendidikan sekaligus menjadi barometer menegnai hasil dari belajar dan pembelajaran. Dari sinilah litearasi mulai menjadi hal yang sangat fenomenal dikalangan masyarakat tentunya dalam sekolah. Pernyataannya, mampukah guru-guru memberikan edukasi tentang literasi secara praktiknya? Terutama guru Bahasa Indonesia.
Ketika kita berbicara tentang literasi, mungkin secara umum akan menganggap bahwa guru bahasa Indonesia mampu dan paham mengani literasi. Pada hal sebetul tidak. Memang kebetulan dalam bahasa Indonesia ada suatu konsep yang disitu merujuk pada konsep litarasi yang disebut “keterampilan berbahasa.” Keterampilan berbahasa inilah yang menjadi amaliyah guru bahasa Indonesia yang sebenarnya diangggap mampu dalam hal literasi.
Baik, kita kembali ke literasi. Kata yang selalu digenbaorkan-gemborkan seantreo jagab pendidikan bahkan dunia. Hehehehehe…… namun kita melisik kembali esensi dari literasi tersebut. Literasi atau yang kita sebut literatus dari bahasa latin yang bermakna belajar. Tentunya dalam hal ini berkaitan dengan membaca dan menulis.
Sementara dalam kamus KBBI V adalah kemampuan membaca dan memulis. Tentunya kita tidak memakan mentah-mentah dari definisi yang ada dalam KBBI V yang saya sebut tadi. Kemampuan membaca dan menulis ini merupakan aktivitas manusia dari zaman ke zaman. Dari sinilah evolusi tentang literassi tidak hanya secara tekstual saja. Literasi juga harus mempu memahami apa yang saat ini mejadi kebutuhan masyarakat baik secara pengetahuan dan ilmu.
Begitu juga, literasi dalam sekolah tidak melulu soal sastra dan cerita-ceritanya. Dalam sekolah justru menjadi media yang paling efektif dalam mengembangkan literasi. Tentunya dalam bidang mata pelajaran masing-masing. Sehingga mana literasi tidak sebatas tahu dan berpengatuhuan saja, literasi harus menjadi medote untuk mencapai pengetahuan menjadi sebuah ilmu. Kalo kita bicara tenteng ilmu, pastinya harus adanya prodak atau karya yang dihasilkan dari sebuah pengetahuan.
Secara garis besar, literasi bukan untuk mempersulit guru atau murid dalam melakoninya. Justru dengan literasi inilah kita menjadi manusia yang selalu haus akan ilmu-pengetahuan dan meng-upgread pengetahuan kita selaku pendidik. Semoga dari sinilah kita sadar betapa kita butuh membaca (iqrok), kita butuh belajar (ta’alam) , dan kita butuh untuk memahami segala realitas yang ada di sekitar kita. Sehingga kita mampu membrian konstrbusi terhadap pendidikan kita juga orang-orang disekitar kita.
Salam literasi…..
Tinggalkan Komentar