PROGRAM DOKTORAL
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
KAJIAN KITAB “RISALAH AHLIS SUNNAH WAL JAMAAH”
Oleh
MOH. MUNDZIR
NIM : 24531034
Dengan membedah pemikiran KH. Muhamad Hasyim Asy’ari melalui kitab “Riasalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah”, penulis mencoba mengajak umat Islam, khususnya warga NU, agar tidak salah langkah dalam memilih, khususnya dalam masalah -masalah yang berkaitan dengan urusan agama, dan khususnya pula dalam tata cara beribadah kepada Allah SWT. Sebab sering kali terjadi karena ketidak mengertian umat, disertai dengan gencarnya pengaruh aliran-aliran yang baru bermunculan, menjadikan Sebagian umat Islam terperosok jauh dalam kesalah fahaman saat mengamalkan ajaran agamanya.
Hadratussyaikh KH. Mohammad Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 atau 24 Dzulqo’dah 1287 H. Beliau adalah putra ketiga dari 11 bersaudara dari pasangan KH. Asy’ari pemimpin Pesantren Keras, Jombang dan Nyai Halimah. Dari Nasab Ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah SAW melalui Joko Tingkir. Berikut ini nasab beliau dari jalur ayah:
Saat masa kanak-kanak, KH. Hasyim Asyari sudah belajar dasar-dasar agama dari ayahnya, KH. Asy’ari dan kakeknya, Kyai Usman (Pengasuh Pesantren Gedang di Jombang). Ketika usia menginjak 15 tahun, Kyai Hasyim mulai belajar di berbagai pesantren, di antaranya Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan, dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Di Pesantren Siwalan, Sidoarjo, yang diasuh oleh KH. Ya’qub inilah, rupanya Kyai Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. KH. Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup waktu lima tahun bagi Kyai Hasyim untuk menyerap ilmu di Pesantren Siwalan.
Kecerdasan dan kealiman yang dimiliki oleh Kyai Hasyim, membuat KH. Ya’qub tertarik kepada Kyai Hasyim. Akhirnya, Kyai Ya’qub menikahkan salah satu putrinya yang bernama Nyai Khodijah dengan Kyai Hasyim. Tidak lama setelah menikah, Kyai Hasyim bersama istrinya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, lalu Kyai Hasyim kembali ke tanah air. Namun sayangnya, istri dan anaknya telah meninggal dunia. Pada tahun 1893, Kyai Hasyim berangkat kembali ke Tanah Suci. Dan sejak itu Kyai Hasyim menetap di Makkah selama 7 tahun.
Di antara guru-guru Kyai Hasyim yang masyhur adalah berikut ini:
Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Pada tahun 1899, Kyai Hasyim pulang ke Tanah Air. KH. Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh, Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah barat Pabrik Gula Cukir. Di daerah ini, KH. Hasyim mendirikan sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah Pesantren Tebuireng mulai tumbuh. KH. Hasyim mengajar dan shalat berjamaah di tratak bagian depan. Sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang dan setiap bulan santrinya semakin banyak berdatangan dari berbagai daerah. KH. Hasyim bukan saja seorang Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu biasanya KH. Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah KH. Hasyim memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi ke Surabaya untuk berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, KH. Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Setelah mendirikan pesantren, satu per satu santri berdatangan untuk ikut mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng. Hingga akhirnya, ribuan santri menimba ilmu kepada KH. Hasyim. Dari sinilah tumbuh para santri yang menjadi tokoh, ulama, dan lain sebagainya. Kealiman, keabsahan sanad keilmuan, dan kesuksesan beliau dalam mendidik para santri yang menjadi ulama besar, menjadikan nama beilau semakin masyhur di jagat Nusantara, bahkan sampai manca negara. Karena itu pula, maka beliau terkenal dengan gelar “Hadratussyaikh” atau “Maha Guru”. Tidak sedikit, santrinya yang mendirikan pesantren dan berhasil mencetak ribuan bahkan ratusan santri berpengaruh di Indonesia.
Selain Latar belakang diatas munculnya berbagai aliran Islam di Nusantara, terlihat seperti dalam apa yang di sampaikan oleh Hadrotussyekh dalam wacana pembuka pasal kedua kitab ini terungkap pada paragraph kedua pasal itu. Hadrotussyekh di dalamya menyatakan : “Kemudian terjadilah pada tahun 1330 H. kelompok-krlompok yang berbagai macam-macam pandangan-pandangan yang saling bertentangan, pendapat-pendapat yang membingungkan, orang-orang yang merebut pengikut..” kemudian paragraf berikutnya KH. Hasyim Asy’ari menyatakan “Sebagian dari mereka ada yang mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang mana mereka berdua mengambil bid’ah dari Muhammad bin Abdul Wahab”.
Kitab “Risalah Ahlusunnah Wal Jama’ah” disusun secara sistematis, meskipun tidak terlalu panjang, tetapi padat dengan makna serta pesan-pesan yang mendalam. Kitab ini sendiri terdiri 10 (sepuluh) Pasal ditambah satu lagi Muqodimah kitab atau Pendahukuan.
Dengan membaca keseluruhan dari pasal-pasal yang ada di dalam kitab ini, kita menjadi mengerti setidaknya dua hal. Pertama, sebagai mana yang dikatakan oleh Martin van Bruinnesen, kenyataan tuduhan bid’ahyang pada mulanya ditujukan kaum modernis terhadap ulama-ulama pesantern telah dinyatakan sebaliknya oleh ulama tradisional dan demikian pula pada Nahdlotul Ulamasebagai mana tercatat dalam statuennya.
Kedua, bahwa para ulama tradisional tetap berpegang teguh dan membela cara-cara keagamaan dengan model bermadzab. Suatu hal yang sangat kontras dengan cara-cara keberagaman orang modernis. Hadritus Syekh sendiri, sebagamana yang dijelaskan oleh Martin van Bruinnessen, memilih pendekatan bermadzab kepada salah satu imam madzab empat (Madzahib Arba’ah) Karena beliau baru menguasai 12 cabang dari 16 cabang dari ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mujahid.
Penting untuk dikatakan disini bahwa pasal pertama kitab ini KH.Muhammad Hasyim Asy’ari menukil dan menjelaskan pendapat dari Syekh Zarruq yang menjelaskan bahwa penilian akan suatu perbuatan, atau sesuatu apapun sebagai bid’ah harus dipertimbangkan dari tiga segi yaitu (1) dari bsegi adanya landasan atau tidak, termasuk pertimbangan bertentangan dengan dalil atau tidak; (2) pengukuran dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan para imam dari ulama salaf; dan (3) mempertibangkandari syawahid (pernyataan) hukum yang kemudian diperinci kedalam bid’ah yang wajib, nadb(baik), haram, makruh, khilaf al-aula (berbeda dengan yang utama), dan mubah (boleh)
Menurut KH. Muhamad Hasyim Asy’ari, para ulama telah menguraikan penjelasan mereka tentang hadits seputar bid’ah, bahwa yang dimaksud adalah perubahan I’tiqod (Keyakinan) adri sesuatu yang awalnya bukanlah ibadah menjadi diyakini sebagai ibadah.
Dari penjelasan terakhir ini, maka kita menjadi mengerti bahwa sesungguhnya perdebatan perdebatan atau kritik dari kaum puritan terhadap kaum tradisionalis adalah karena kesalah fahaman mengenai apa yang seharusnya di fahami sebagai tradisi keagamaan dan di anggap sebagai ibadah.
Dalam bagian terakhir pasal pertama dalam kitab ini, Hadrussyekh KH. Hasim Asy’ari membela keabsahan tradisi tradisi keberagaman Masyarakat tradisional yang sering dikritik kaum modernis dan puritan. Beliau menegaskan keabsahan tradisi seperti menggunakan tasbih, melafalkan niat, tahlil dan bersedaqah untuk mayit, yang mana itu semua tidak ada dalil yang melarang. Sebagai bandingan, lalu Hadratussyaekh menjelaskan penilian buruknya terhadap perilaku menyimpang seperti judi dan permainan undian.
Dengan membaca Kitab Risalah Ahlu Sunnah Wal Jama’h ini, diharapkan umat Islam lebih mudah untuk membedakan mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang tidak dibenarkan, sehingga bisa lebih berhati-hati di dalam melaksanakan amalan ibadahnya kepada Allah SWT dan tidak salah dalam melangkah.
Kitab ini bermanfaat bukan hanya untuk memahami, menialai dan membeda mana ibadah dan mana tradisi, mana sunnah dan mana bid’ah, tapi juga posisi keagamaan para ualam pesabtren saat itu yang direpresentasikan oleh Hadrotussyaekh Hasyim Asy’ari salah satu ulama yang sangat berpengaruh dibumi Nusantara ini. Nilai dan pesan yang terkandung dalam kitab ini semoga menjadi penuntun bagi kita dalam menyikapi kehidupan, untuk tetap berjalan di manhaj Ahlussunnah wal jama’ah yang sebenarnya, seperti pemikiran Hadrutussyaekh KH.Muhammad Hasyim Asy’ari.
Daftar Pustaka
Tinggalkan Komentar