Budaya Literasi dalam Pendidikan dan Pembelajaran Sastra yang Membuntutinya
Oleh : Hikho Wasa
Belakangan ini banyak ditemui berbagai gerakan literasi baik yang tingkat regional maupun tingkat nasional yang digalakkan komunitas atau lembaga. Gerakan ini tentu memiliki tujuan mulia sebab barangkali lembaga atau komunitas pegiat literasi ini menyadari jika negeri kita ini sedang darurat literasi sejak lama. Seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia–tanah yang dengan segala kerendahan hati menerima manusia-manusia macam kita ini, menduduki posisi 62 dari 70 negara di dunia atau dengan kata lain berada dalam sepuluh negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Menanggapi hal ini, beberapa orang yang memang tak begitu dekat dengan literasi lantas berpendapat, “Untuk apa harus meluangkan waktu untuk membaca di saat mengumpulkan uang saja masih keteteran.”
Sementara itu, menilik dari pengertian literasi menurut para ahli, Alberta, mendefinisikan literasi yakni seseorang membaca dan menulis selain mendapat pengetahuan juga mengasah keterampilan dan berpikir kritis terhadap masalah yang ada. Sedangkan menurut Cradon literasi adalah sumber ilmu yang sifatnya membangun imajinasi individu sebagai sarana menjelajahi ilmu pengetahuan yang akan berpengaruh terhadap banyak hal dan mengubah hal baru dari individu.
Sesuai dengan pengertian literasi di atas, maka literasi bukan hanya diartikan membaca dan menulis tanpa guna tetapi juga proses untuk menjadi manusia sejati yakni manusia yang menemukan kemanusiaannya. Termasuk pembelajaran literasi dalam dunia pendidikan yang sedang banyak digalakkan di instansi pendidikan. Namun, apakah sudah sesuai target? Akan kemanakah budaya literasi kita dalam lingkup pendidikan saat ini?
Literasi bukan sekadar membaca tulisan tetapi membaca keadaan dan lingkungan sehingga kepekaan dapat meningkat. Hal ini akan memunculkan sebuah komunikasi yakni sebuah dialog rasa dengan diri. Inilah yang kemudian membawa kita ke perenungan dan pelahan menemukan kemanusiaan kita yang barangkali lupa tak kita bawa bersama tubuh manusia kita.
Literasi juga kerap kali dikaitkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia yang memang berfokus pada baca dan tulis, tetapi semua hanya sampai di permukaan. Tidak dalam dan tajam di pembahasannya. Kita semua tahu dalam mata pelajaran bahasa Indonesia ada dua bidang yang dipelajari yakni nonsastra dan sastra. Ironisnya pembelajaran nonsastra lebih banyak difokuskan daripada pembelajaran sastra. Mengapa hal ini bisa terjadi? Entah. Semua masih menjadi misteri.
Bisa jadi sebagian orang menganggap sastra tidak begitu penting atau apa gunanya siswa digerakan memahami sastra jika pemahaman kebahasaan saja masih kurang. Namun, bukankah pendidikan difungsikan untuk menyiapkan siswa atau anak untuk terjun ke sosial masyarakat yang pada akhirnya yang lebih banyak membutuhkan improvisasi dan empati dalam diri, daripada keilmuan yang pakem. Bukan maksud saya merendahkan keilmuan. Ilmu pengetahuan itu penting tetapi jika pengetahuan dibarengi empati maka lengkap sudah kita sebagai manusia. Kita coba kembali ke pengertian sastra. Sastra dalam hal ini adalah alat untuk kebaikan atau bisa dikatakan sebagai ajaran. Suatu hal yang dibutuhkan dalam hidup, bukan?
Masalahnya sastra dan kesenian bagi banyak orang masih dipandang sebelah mata atau hanya sebagai hiburan. Padahal jika kita menilik ke belakang, dalam pendidikan masa kerajaan, justru pembelajaran sastra yang didahulukan seperti bacaan puisi, hikayat, hingga epos yang dapat dijadikan diskusi bagi guru dan siswa. Hal ini kemudian menumbuhkan empati dan kepekaan siswa terhadap lingkungan sekitar sehingga muncul rasa kritis dalam diri dan berusaha untuk menyelesaikan masalah dalam lingkungan sosial di sekitarnya.
Kitab-kitab seperti Negarakertagama, Pararaton, Arjunawiwaha, hingga epos Mahabharata dan Ramayana serta karangan Ranggawarsita sering dijadikan bahan diskusi sebagai media menggali empati sekaligus menanamkan budi baik kepada siswa. Setiap karya memiliki pesan, setiap cerita mempunyai makna yang ingin disampaikan, maka melalui diskusi sastra dengan menggali makna dari karya sastra, siswa terbiasa berpikir kritis dan lebih peka. Inilah yang kemudian menggiring diri untuk berdialog rasa. Jiwa yang sering berdialog rasa akan semakin lembut hatinya, akan semakin peka perasaannya, dan semakin kritis pemikirannya, maka kebijaksanaan akan lebih mudah didapatkan.
Jika dialog rasa muncul, maka ide baru juga terlahir, lantas bagaimana agar hasil dialog diri kita dapat kita bagikan dengan orang lain, jawabannya adalah dengan menulis. Seperti kata Eyang Soesilo Toer dalam bukunya Pram dari Dalam yang mengatakan “Jika pejabat negara lebih banyak bicara daripada bekerja, lebih miskin lagi jika tidak menulis,” maka dengan hal ini dapat kita simpulkan bahwa meskipun kita tak menjadi pejabat negara yang banyak bicara dan sedikit bekerja, setidaknya kita menjadi rakyat yang banyak bekerja dan menulis. Paling tidak kita tidak terlalu miskin, serta ada kekayaan intelktual dan moral yang bisa kita sombongkan pada mereka yang miskin moral dan tak berdialog rasa apalagi tak menulis.
Contoh lain, mencoba kembali pada abad 19 di mana ada salah satu sosok pembawa perubahan yakni RM Tirto Adhie Soerjo sang Bapak Pers Nasional yang mendobrak penulisan berita dengan bahasa Melayu sehingga masyarakat Hindia Belanda dapat memahami apa yang terjadi di tanah kelahiran mereka. RM Tirto Adhie melalui berita dan tulisan-tulisannya dapat mendobrak jiwa nasionalisme pada diri bangsa Hindia Belanda saat itu. Ini membuktikan bahwa tulisan dapat lebih tajam dari pedang.
Maka tentu betapa gerakan literasi dan pembelajaran sastra perlu dan kita butuhkan dalam proses menumbuhkan kebajikan dan kebijaksanaan dalam diri agar mencapai pada kesejahteraan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara serta berkemanusiaan tentunya.
Selain pada proses pengembalian manusia pada kemanusiaannya, literasi dan sastra juga dapat mengarah pada keabadian diri. Seperti ungkapan Eyang Pram yang dimediakan melalui tokoh fenomenal – Nyai Ontosoroh dalam novelnya Bumi Manusia, “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari yang lain? Karena kau menulis, namamu abadi, abadi sampai jauh di kemudian hari” begitu setidaknya kalimat yang diungkapkan Eyang Pram melalui Nyai Ontosoroh.
Jika literasi dan sastra adalah proses menuju kemanusiaan, dan saya menyukai keabadian maka mari berproses literasi melalui menulis, sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian. Tabik.
*Penulis tinggal di Tuban
Tinggalkan Komentar